Liburan tanggal 24-26 Desember 2010 kami isi dengan mendaki gunung Ceremai. Aku dan empat orang kawan berangkat dari stasiun Gambir hari Jumat (24 Desember 2010) dengan menumpang Cirebon Express pukul 06.30an menuju stasiun akhir stasiun Cirebon. Lama perjalanan kurang lebih tiga jam. Saat itu kota Cirebon Cerah (baca: hot :P). Dari Stasiun kami menyewa sebuah angkot seharga Rp110.000,00 menuju daerah kuningan. Kami berencana mengambil jalur terberat gunung Ceremai, jalur Linggarjati. Di gunung ini, kami termasuk newbie, kami belum pernah mendaki gunung ini.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sekilas tentang gunung Ceremai:
Gunung Ciremei adalah gunung tertinggi di Jawa Barat ( 3.078 Mdpl ), dapat terlihat dengan jelas oleh para penumpang kereta api atau kendaraan umum lainnya sepanjang jalur pantura sekitar Cirebon.
Gunung Ceremai termasuk gunungapi Kuarter aktif, tipe A (yakni, gunungapi magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600), dan berbentuk strato. Gunung ini merupakan gunungapi soliter, yang dipisahkan oleh Zona Sesar Cilacap – Kuningan dari kelompok gunungapi Jawa Barat bagian timur (yakni deretan Gunung Galunggung, Gunung Guntur, Gunung Papandayan, Gunung Patuha hingga Gunung Tangkuban Perahu) yang terletak pada Zona Bandung.
Ceremai merupakan gunung api generasi ketiga. Generasi pertama ialah suatu gunungapi Plistosen yang terletak di sebelah G. Ceremai, sebagai lanjutan vulkanisma Plio-Plistosen di atas batuan Tersier. Vulkanisma generasi kedua adalah Gunung Gegerhalang, yang sebelum runtuh membentuk Kaldera Gegerhalang. Dan vulkanisma generasi ketiga pada kala Holosen berupa G. Ceremai yang tumbuh di sisi utara Kaldera Gegerhalang, yang diperkirakan terjadi pada sekitar 7.000 tahun yang lalu (Situmorang 1991).
Letusan G. Ceremai tercatat sejak 1698 dan terakhir kali terjadi tahun 1937 dengan selang waktu istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Tiga letusan 1772, 1775 dan 1805 terjadi di kawah pusat tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Letusan uap belerang serta tembusan fumarola baru di dinding kawah pusat terjadi tahun 1917 dan 1924. Pada 24 Juni 1937 – 7 Januari 1938 terjadi letusan freatik di kawah pusat dan celah radial. Sebaran abu mencapai daerah seluas 52,500 km bujursangkar (Kusumadinata, 1971). Pada tahun 1947, 1955 dan 1973 terjadi gempa tektonik yang melanda daerah baratdaya G. Ciremai, yang diduga berkaitan dengan struktur sesar berarah tenggara – barat laut. Kejadian gempa yang merusak sejumlah bangunan di daerah Maja dan Talaga sebelah barat G. Ceremai terjadi tahun 1990 dan tahun 2001. Getarannya terasa hingga Desa Cilimus di timur G. Ceremai.
Sumber: mbah Wikipedia
24 Desember 2010
Perjalanan menuju kawasan Linggarjati kira-kira memakan waktu satu jam. Setelah bertanya sana-sini akhirnya sampailah kami di kawasan Linggarjati, namun berdasarkan informasi yang kami terima dari petugas di sana, kawasan Linggarjati telah ditutup karena berbagai alasan. Sebagai pengganti, dibuka jalur baru, Linggasana. Jalur ini benar-benar masih baru, kami termasuk pendaki pertama yang melewati jalur itu. Bahkan, nama tim kami tercatat sebagai tim no.1 di buku registrasi, jadi kalau teman-teman mau mendaki lewat jalur Linggasana, coba cek buku register no.1, itu adalah kelompok kami :D. Saking barunya, jalur ini belum memiliki sekretariat, jadi kami ditumpangkan di rumah salah satu warga yang juga menjadi penyuplai kebutuhan pendaki dadakan :D.
Sebelum mendaki, kami sholat Jumat dan makan dulu di perkampungan Linggasana.
Makan dulu, yuk ^^
Jarum jam menunjuk angka 14.00an ketika kami mulai melakukan pendakian. Jalur yang masih baru ini pun menyediakan trek yang benar2 baru dibuka. Sisa-sisa rumput yang dipotong, tanah digali, dan pos-pos yang baru dibangun pun terlihat jelas.
Trek pertama tidak terlalu sulit, masih banyak trek-trek bonus di sini.
Trek awal Linggasana
Salah satu pos peristirahatan Linggasana
Kira-kira satu jam perjalanan, kita akan menemui trek yang mulai agak sulit. Trek ini akan terasa semakin sulit ketika hujan datang karena cukup licin.
Trek Linggasana
Kira-kira pukul 5 sore, tim kami terjebak hujan. Perjalanan tetap kamu lanjutkan, namun setelah hari semakin gelap dan jalan cukup licin ditambah lagi dengan tidak ada satu pun anggota tim yang paham medan, akhirnya kami memutuskan untuk menginap di pos Pangalap.
Nge-camp, cuy....
Sarapan dulu sebelum melanjutkan perjalanan
Beres-beres ^^
25 Desember 2010
Kira-kira pukul 8 pagi kami melanjutkan perjalanan.Oya, biasanya, sebelum mendaki kami selalu menunjuk salah satu anggoa tim untuk menjadi kasubag sampah yang bertugas mengurus sampah-sampah tim ^^. Kali ini yang ditunjuk adalah nyubitol dalam tim, Iqbal. Ini dia orangnya:
Nyubitol
Foto bareng anggota tim
foto bawah: (kika arah pembaca) miko, akbar, dhiro, iqbal, aq
Selepas Pangalap trek mulai menanjak. Cukup parah sih tanjakannya, tapi masih belum bisa disebut sebagai alasan mengapa linggasana-linggarjati mendapat julukan jalur terberat ceremai.
Jalur terparah adalah setelah tanjakan Seruni. Benar-benar dibuat geleng-geleng kita naiknya...hahahaha..
Tanjakan-tanjakan jalur Linggasana-Linggarjati
Setelah melewati tanjakan yang cukup berat, akhirnya kami tiba di pos Pengasinan. Lama waktu yang kami butuhkan cukup panjang, karena salah satu anggota tim ternyata payah staminanya :P. Kami tiba di Pengasinan pukul 2 siang. Di sini kami istirahat kira-kira 1 jam sekalian sholat :P.
Selepas Pengasinan tanjakan belum berhenti. Kualitasnya masih sama seperti sebelumnya. Tanjakan ini berhenti tepat di bibir kawah Ceremai.
Kira-kira pukul 4 sore kami tiba di puncak gunung Ciremai. Puncak gunung Ciremai dapat dibilang sangat indah. Kawah yang masih aktif selalu mengeluarkan asap belerangnya. Tepat di tengah kawah terdapat danau alami yang luar biasa karena airnya berwarna biru muda. Sepertinya karena ada tumbuhan alga atau sejenisnya, bukan karena kedalaman kurasa karena warna biru seperti itu terbilang unik. Sungguh Luar biasa!!!
Foto-foto di puncak gunung Ciremai
Tak lama setelah kami sampai di puncak, cuaca mendung dan turun hujan. Dengan terpaksa kami pun turun. Kali ini kami mencoba melewati jalur lain, yaitu arah Palutungan/Apuy. Karena belum pernah ada yang mendaki Ciremai, kami akhirnya "nebeng" arah kelompok pendaki lain yang kebetulan kami temui di puncak. Kalau tidak salah mereka berasal dari MAPALA STIKES Cirebon. Bersama, kami mengitari kawah Ciremai untuk mencari jalan turun. Ternyata treknya horor saudara2 karena harus melalui bibir kawah yang sempit dengan kanan kiri adalah jurang yang nyaris vertikal dan dalam. Lebih menyeramkan dari pada jembatan setannya Merbabu.
Kira-kira pukul 06.30an kami tiba di Gua Walet yang merupakan salah satu pos favorit pendaki Ciremai untuk menginap. Karena di sini adalah satu2nya tempat yang ada "sumber mata air"nya di Ciremai selain di pos 2 Linggasana.
Kampung mini pendaki di Gua Walet
Jangan bayangkan sumber air yang ada di Gua Walet mengalir seperti sumber mata air di gunung lainnya. Di sini, air menetes dari celah-celah bebatuan yang berada di langit2 gua, sehingga untuk mendapatkan air pendaki harus menadah, yaitu meletakkan tempat penampungan air di titik2 tetesan air tersebut. Bisa semalaman untuk menadah air seukuran jirigen 5 liter.
Pos Gua Walet sendiri cukup unik. pos ini berada di tempat yang serupa ceruk, jadi terlindung dari badai dan angin. Sangat ideal untuk nge-camp.
Gua Walet dan penampungan air pendaki
Timku dan Tim MAPALA STIKES Cirebon
Saat itu, selain tim kami dan Stikes, ada tim lain yang sudah terlebuh dahulu nge-camp di tempat ini. Tampaknya mereka sedang melaksanakan Diklat. Anak MAPALA juga, tapi entah dari kampus apa.
Tim MAPALA yang lagi Diklat
26 Desember 2010
Keesokan harinya, kami melanjutkan perjalanan turun. Kami memilih melewati jalur Apuy karena katanya relatif dekat dan mudah.
Pemandangan dari atas Gua Walet
5 jari untuk 5 pendakian di tahun 2010 \(^.^)/
*setelah dihitung ulang, ternyata itu pendakian keenam di 2010, salah pose hahahaha...
*setelah dihitung ulang, ternyata itu pendakian keenam di 2010, salah pose hahahaha...
Jalur Apuy
Ada satu kebiasaan/adat di wilayah gunung Ciremai yang menurutku aneh dan merusak lingkungan. Para pendaki Ciremai yang ingin buang air kecil diwajibkan untuk menadahnya dengan botol atau wadah lainnya. Pendaki dilarang buang air langsung di tanah. Hal ini mengakibatkan banyaknya sampah-sampah botol beserta "isi" nya di kawasan gunung Ciremai yang digeletakkan begitu saja di mana-mana. Sehingga jika anda sedang mendaki gunung Ciremai dan sedang kehausan lalu anda menemukan botol/plastik berisi air, jangan sekali-kali menyentuhnya. Karena percayalah, itu adalah air "istimewa". Saran saya untuk para pendaki Ciremai: JANGAN TURUTI/IKUTI ADAT TERSEBUT KARENA AKAN SEMAKIN MERUSAK LINGKUNGAN DAN PEMANDANGAN!!!!!
Kira-kira pukul 06.30an kami tiba di Gua Walet yang merupakan salah satu pos favorit pendaki Ciremai untuk menginap. Karena di sini adalah satu2nya tempat yang ada "sumber mata air"nya di Ciremai selain di pos 2 Linggasana.
BalasHapuskenapa sumber mata airnya pake tanda kutip mas??
karena itu sepertinya bukan sumber mata air, tapi sisa-sia hujan, kumpulan embun, dll semacam itu yang menetes dari atas ke bawah melalui celah2 batu di langit2 gua walet......
BalasHapussapa tuh yang payah?? kamu ya bi?? pancen og
BalasHapusketua tim mesti sing paling sakti tho y.......
BalasHapusaurat, Boi.
BalasHapus